Jumat, 05 Agustus 2011

substansi jilbab

Substansi Jilbab Bagi muslimah
wa al-yadlribna bi khumurihinna ’ala juyubihinna wa la yubdina zinatahunna illa li bu’ulatihinna…(Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali pada suami mereka…) QS Al-Nur:31
Sebagian besar masyarakat Indonesia beragama islam, dan populasi terbesarnya adalah perempuan. Beragam pemahaman yang mereka utarakan mengenai substansi jilbab. Menurut para akhwat yang memakai jilbab panjang dan lebar, jilbab merupakan suatu kewajiban bagi muslimah dalam berbusana. Mereka menganggap jilbab yang benar adalah yang panjang, lebar, tebal dan tidak transparan. Sehingga, ketika melihat muslimah lain yang berjilbab pendek atau bahkan tidak memakai jilbab, cenderung meragukan keislaman dan keimanan orang tersebut. Padahal keislaman dan keimanan seseorang tidak cukup hanya dilihat dari penampilan luarnya saja. Realita yang ada, tidak sedikit muslimah yang belum menggunakan jilbab. Tetapi mereka lebih memahami islam dari pada yang baru memakai jilbab yang sebagian besar mereka adalah seorang aktivis pergerakan. Apakah jilbab sebegitu simboliknya menandai suatu indikator keshalihan atau kesucian sehingga kain penutup kepala itu menjadi berjarak dan asing dengan sendirinya dari perempuan Islam yang mengenakannya?
Ada yang berjilbab tapi masih telanjang. Hal ini sering di paraktekkan oleh para artis-artis. Padahal, yang demikian itu adalah sebuah prilaku yang sama sekali tidak disenangi oleh Islam. Ada yang lebih fatal lagi, yaitu seseorang yang telah berani mempermainkan jilbab hanya untuk kepentingan duniawi, sementara masyarakat menyaksikan bahwa mereka sebenarnya tidak berjilbab. Jilbab memang tidak sekadar pakaian yang dikenakan muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Fenomena jilbab berkembang jauh ke luar wilayah yang sebenarnya. Dalam kategori sosiologis, jilbab bisa mencerminkan pandangan maupun perilaku keagamaan seseorang. Jilbab ”klasik” biasanya pemakainya lebih ”ketat” dalam beragama dan punya afiliasi politik tertentu. Jilbab bercadar mencerminkan ”fundamentalisme” pemakaiannya. Jilbab modis mencerminkan pandangan Islam ngepop dan condong ”liberal”.
Selama ini jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman. Alasannya, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama, juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam menghadapi penindasan patriarkhi, kapitalisme, dan globalisasi. Tetapi, saya melihat hal itu telah disalah pahami banyak pihak, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam. Di kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas ketakwaan perempuan berjilbab daripada yang tidak berjilbab. Sedangkan di kalangan luar, kelompok berjilbab sering dianggap sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal, dan anti-Barat. Setidaknya, dua kemungkinan itu yang saya tangkap.
Persoalannya adalah, dengan membuat indikator imajiner tentang ’standar kepantasan’ perempuan untuk berjilbab, maka secara tidak langsung kita telah mensakralkan jilbab. Maksudnya adalah upaya untuk membuat jilbab seolah simbol yang menandai keshalihan perempuan sebagai sesuatu yang tidak bisa digugat. Jilbab sebagai sesuatu yang lekat dengan Islam, yang dimaknai sebagai bagian dari identitas pemakainya. Ibaratnya, jilbab dibuat seolah sebuah atribut atau jabatan yang bisa dibongkar pasang sesuai dengan indikator. Padahal, sejatinya jilbab itu menyatu dengan si pemakainya bukan semata dalam artian keputusan untuk memakainya harus dari si perempuan itu sendiri, tapi juga dalam artian kebebasan si perempuan untuk memutuskan berjilbab atau tidak. Dengan menyatukan si jilbab kepada identitas si perempuan, kita telah memaknai jilbab atau hijab ke dalam substansi sebagai “pembatas”. “Pembatas” ini adalah sesuatu yang inheren dalam spiritualitas si perempuan, dan bukan sebagai “simbol kesucian” atau atribut yang dibebankan kepada perempuan sehingga dia seolah-olah memikul suatu tanggung jawab suci untuk mempertahankan dirinya ke dalam konformitas tertentu yang belum tentu sesuai dengan karakternya.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah”, busana muslimah (Jilbab) mulai dikenal oleh pemeluk agama terutama Islam pada abab XIX, tetapi jilbab kala itu masih belum menjadi trend sehubungan umat masih terperangkap dengan kebodohan, sekaligus menilai jilbab merupakan pakaian yang lucu dan membosankan. Maka, tak salah jika kemudian jilbab dianggap sebagai salah satu busana yang membatasi gerak langkah pergaulan sehari-hari.
Hal senada juga disampaikan seorang “akhwat” (aktivis pergerakan). Mereka merubah penampilan setelah beberapa kali mengikuti kajian di kampus. Bisa jadi karena pemahaman yang belum sempurna lantas begitu saja menerima segala hal yang mereka kira paling benar. Ada beberapa golongan yang lebih ekstrim dalam pemahaman islam, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), KAMMI, Salafi dll. Mereka memandang muslimah yang tidak berjilbab atau tidak menyalahi aturan islam seperti ghibah (membicarakan orang lain) maka dia dianggap kafir dan halal dibunuh. Sebegitu kerasnya dalam mengaplikasikan ajaran islam. Ini sangat jauh dari arti islam itu sendiri, sebagai Rahmatallil’alamin rahmat bagi semua orang. Islam bukanlah ideologi, tetapi sebuah substansi. Menjadi muslimah sebenarnya mudah, tapi kenapa mereka cenderung mempersulit dengan segudang aturan, misalnya harus memakai rok, baju yang longgar, atau gamis bahkan ada yang memakai cadar. Hal ini pun mengundang reaksi pada muslimah yang memakai jilbab ala kadarnya dan yang belum berjilbab. Menurut mereka substansi jilbab adalah menutup aurat dalam artian perilaku atau akhlak yang kurang patut sebagai muslimah yang mengetahui batasan islam. Mereka tidak ingin mengotori jilbab yang menurut mereka dekat dengan keshalihan muslimah. Mereka menyayangkan tindakan akhwat pergerakan yang seringkali memandang rendah tingkat keimanan mereka. Ini merupakan salah satu bentuk kesenjangan sosial dalam lingkup kepribadian muslimah. Karena mereka yang telah berjilbab besar cenderung menilai sesuatu dari penampilan. Tapi mereka tidak paham, dan terlalu sempit menilai kadar keimanan seseorang. Seharusnya mereka tidak berhak atas semua ini, karena hanya Tuhan yang bisa menilainya.
Saya masih belum mampu menangkap substansi jilbab yang sebenarnya. Sebagian kalangan menyatakan jilbab bukan sekadar menutupi bagian-bagian tubuh wanita yang selayaknya ditutupi, tapi menyelimuti pula si pemakainya dari perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan spirit ketuhanan. Mungkin ini merupakan motivasi muslimah untuk berjilbab. Tetapi ada beberapa yang beranggapan, memakai jilbab hanya sekadar mengikuti tren mode. Jadi tidak salah jika akhirnya jilbab sendiri beragam jenisnya, yaitu jilbab modis, jilbab syar’i atau klasik dan jilbab gaul. Seringkali kita dengar bahwa perempuan mengenakan jilbab sebagai identitas keislaman. Identitas digunakan sebagai pembelaan betapa mendasarnya jilbab itu, tapi yang sering luput adalah identitas itu bukan sesuatu yang dipaksakan secara eksternal. Yang namanya identitas berarti bagian yang sangat personal dari seseorang untuk mengartikulasi keberadaan dirinya di tengah lingkungan sosial. Karenanya, tidak terhindarkan bagi tiap orang untuk memiliki multiple identities.
Selain itu, jilbab sudah seharusnya dibebaskan dari segala tanggung jawab simbolik sehingga perempuan akan tetap nyaman mengenakannya ataupun tidak mengenakannya. Lantas perempuan berjilbab bisa mengatakan, “Ya saya berjilbab karena saya ingin, dan saya adalah diri saya. Saya tidak membawa pesan kesucian tertentu atau keshalehan yang diukur oleh suatu konformitas.” Perempuan berjilbab juga bisa mengatakan, “Saya akan tetap berjilbab meski oranglain mengatakan saya tidak sholehah. Kenapa? karena jilbab bukan atribut yang dipinjamkan oleh pihak lain sehingga pihak lain berhak menilai soal baik atau tidaknya saya memakai jilbab.” Perempuan tidak berjilbab pun bisa mengatakan, “Saya memilih tidak berjilbab karena saya merasa tubuh saya adalah milik saya dan bukan pinjaman dari pihak lain.”
Menurut saya, seorang perempuan yang sudah berjilbab tidak perlu melepas jilbabnya hanya karena, dan hanya karena, dia merasa tidak “cukup” memenuhi “indikator” keshalehan yang dijejalkan padanya oleh persepsi kelompok atau masyarakat tertentu. Kecuali atas pertimbangan-pertimbangan lain yang sepenuhnya personal, perempuan berjilbab semestinya tidak merasa dihakimi oleh pihak lain sehingga mendorongnya untuk melepaskan jilbab. Sedangkan yang belum memakai jilbab tidak perlu memaksakan diri memakainya karena paksaan atau tuntutan yang harus mereka taati.
Haruslah dipahami dan dimaklumi, menutup aurat, bagi sebagian kelompok masyarakat memang merupakan prinsip ideologi dan way of life. Keyakinan ini haruslah dihormati. Walau harus diakui, jilbab adalah sebuah paradok yang abadi. Dengan demikian, desakralisasi jilbab diperlukan untuk menghindarkan tindak kekerasan atau diskriminasi patriarkis yang mengatasnamakan ‘kesucian’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar