Jumat, 05 Agustus 2011

tasawwuf cinta

TASAWUF CINTA
Angin bertiup amat pelan. Terpaannya yang lemah hanya bisa menggoyangkan dedaunan di pucuk-pucuk pohon mangga. Bintang-bintang bertaburan tampak dari depan kamarku di Ponpes (Pondok Pesantren) Al-Falah Ploso Kediri. Jauh di atas sana terlihat jua sinar bulan purnama menghiasi langit. Cahayanya memancar menerangi jalan menuju masjid Pondok. Sedangkan dari arah berlawanan, terdengar para santri melantunkan nadhoman 1secara perlahan.
“Ta’aallam fainnal ‘ilma zainul liahlihii, wa fadhlun wa’in waanullikullil makhamidi...”2 sayup-sayup suara santri melafalkan nadhom kitab Ta’limul Muta’allim. Suasana pondok memang identik dengan lantunan pujian kepadaNya. Nafas keislaman dan panji-panji itu akan terus bergema selama manusia masih berpegang teguh pada ajaranNya. Suara khas yang sering terdengar tiap malam sehabis Isya’ itu membuat para santri hafal dan melekat di benak mereka. Dengan malas aku menuju masjid, tempat semua santri mengaji malam ini. Ada yang masih di gota’an3 sambil membawa kitab bergegas menyusul yang lainnya. Keheningan Pondok semakin malam makin terasa karena semua santri telah berkumpul di Masjid. Sambil menunggu Pak Kiai datang, santri putri malah asyik surat-suratan dengan santri putra. Maklum, ini merupakan fenomena yang sering terjadi di lingkungan Pesantren pedesaan. Mereka menempuh pendidikan formal dan non formal dalam tempat yang sama. Sehingga mereka jarang keluar pondok apalagi bertemu santri putra.
“Assalamu’alaikum kang, man anta?”4 tanyaku pada salah satu santri putra. Kami, santri putra maupun putri sering mengirim pesan singkat lewat celah dari satir5 masjid. Itulah hiburan kami setiap kali mengaji bersama. Sementara di balik satir, ada Azka yang sedang senyum membaca surat dari-ku.
“Enten nopo neng Zahra?”6 balasnya. Sontak saja aku kaget, dari mana dia tahu namaku.



“Kok tahu kang, ismi?”1 tanyaku, penasaran.
“la wong di balik kertas ada tulisan Zahra.”
“Oh, ya to, maaf, aku jadi malu,” pikirku dalam hati.
“Maa fii musykillah, ana Azka” 2jawabnya dalam bahasa arab.
Ternyata aku lupa kertas yang kupakai ada namanya. Jadi malu sendiri memikirkan hal itu.
Aku belum kenal dengan sosok yang bernama Azka. Berbeda dengan para santri putri yang pernah ketemu di dapur pondok. Mereka sering memuji Azka, bahkan menyebutnya Gus3 yang paling pintar dan manis. Santri putri memang sukanya ngomongin santri putra yang keren. Tak jarang mereka mengintip kegiatan santri putra lewat dapur pondok yang menghubungkan kompleks putra dan putri.
“Zahra, Pak Kiai datang,” bisik Vina, membuyarkan lamunanku terhadap bayangan Azka.
“Masya Allah, iya Vin, suwun,”4 ujarku, sambil terburu-buru merapikan kitab dan memasukkan sobekan kertas yang sedari tadi kupegang. Setelah menempati posisi yang nyaman, Pak Kiai memulai membacakan kitab.
“Bismillaahirrohmaanirrohiim, fashlun fii ta’dhimiil ‘ilmi wa ahlihi……”5 Pak Kiai memulai ngaos kitab kuning6 itu dengan lancar dan jelas. Walaupun usianya sudah lanjut, tetapi kemampuannya dalam membaca kitab kuno tidak dapat dipandang sebelah mata. Kami semua, baik santriwan, santriwati,7 pengurus Ponpes maupun putra Pak Kiai juga turut mendengarkan dan mengartikan isi kitab. Tulisan arab gundul 8 dalam kitab itu sedikit sukar bagiku yang masih pemula. Suara khas beliau semakin lama semakin menghilang dari pendengaranku. Aku masih penasaran dengan sosok Azka yang mengusik hatiku. Aku merasa ada hal lain yang tidak aku mengerti. Tiba-tiba aku dikagetkan suara Vina yang mengajakku kembali ke gota’an.



“Ayo Za, kita langsung ke kamar, ngga’ usah takror,”1 ajak Vina.
“Loh, kok cepet ngajinya Vin?”tanyaku.
Ternyata Pak Kiai sudah mengakhiri ngaos malam ini.
“Takror yuk, aku ketinggalan banyak e,”celetukku lagi.
“Ealah Za..Za, koen lapo wae?gak mireng ta, ket mau?” 2geram vina.
“Hehehe, aku ngelamunin Azka,”gumamku sambil senyum malu.
“Koen ora ngerti ta, Azka iku putrane pak Kiai lo, ojo sembrono,”3
“Iyo ta Vin?”
“Kemane aje neng enam bulan ini?”ledek Vina menirukan logat betawi.
Aku memang orangnya super sibuk dibanding teman-teman yang lain. Bahkan cuek dengan segala gosip-gosip. Aku habiskan waktuku untuk belajar pelajaran sekolah dan belajar kitab kuning. Maklum saja, karena untuk bisa mondok dan sekolah, orang tuaku harus bekerja keras agar bisa membayarnya. Jadi tugasku hanya mencari ilmu agama dan dunia.
Keesokan harinya aku pergi ke dapur mengambil sarapan untuk teman-teman satu gota’anku. Seperti biasa kami harus mengantri. Mandi antri, makan antri, wudlu antri, bahkan mau buang air besar saja juga harus antri. Padahal ini merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Tetapi aku bertahan demi mendapat ridho orang tua yang sedikit memaksaku balajar ilmu agama di sini.
Ketika tiba giliranku masuk dapur. Aku mendengar suara yang asing di belakangku. Suara yang merdu nan indah tapi tegas dan jelas memanggil namaku.
“ Mengambil sarapan Zahra,”celetuk Gus Azka.
“Injeh kang,” jawabku sambil menengok ke belakang dan menghadap ke bawah lagi karena malu.
Kebiasaan santri memang seperti itu. Malu melihat wajah orang yang bukan muhrimnya. Aku sendiri masih tidak tahu kalau yang memanggilku adalah Gus Azka. Rufaida yang sedari tadi di sampingku, tersenyum malu-malu karena dapat bertemu Gus yang paling ganteng di Pondok ini.
“Tumben pagi-pagi ke dapur, sudah lapar ya Gus?” goda Rufaida yang mencari perhatian. Aku menolah ke arah Rufed karena terkejut mendengar sapaan Gus pada orang yang tak jauh dari tempat ku berdiri.



“Apa ini Gus Azka?” batinku dalam hati.
“Ah nggak mungkin, putra Pak Kiai kan banyak,” bantahku sendiri.
“Jika ternyata dia benar Gus Azka, matilah aku,” cemasku.
“Heh! Kok melamun Za?” tanya Gus Azka.
“Oh, nggak kok Gus,” sanggahku.
Sementara itu, dari depan teras rumah terdengar Pak Kiai memanggil Gus Azka.
“Azka ke sini sebentar!” panggil Pak Kiai.
“Waduh, dia beneran Gus Azka,”batinku lagi.
Kali ini mukaku benar-benar merah, apalagi Gus Azka sempat tersenyum saat meninggalkan kami. Mau aku taruh dimana mukaku setelah tahu hal ini. Betapa lugu dan naifnya aku. Padahal surat-suratan tadi malam baru pertama kali aku lakukan. Aku hanya ingin seperti teman-teman yang lain, bisa ngobrol dengan santri putra. Tetapi aku malah kena batunya.
Di ruang depan ternyata Pak Kiai sedang memberi tahu Gus Azka untuk mengajar kelas 1 diniyah santriwati 1 malam ini. Gus Azka yang baru pulang dari Mesir awalnya menolak. Tetapi Pak Kiai dengan mudah membuatnya nurut.2
Malam harinya, seperti biasa ba’da sholat maghrib 3 kami santriwati mengaji di kelas masing-masing. Hari Rabu, jadwalnya kitab tashrif.4 Semua santri sedang sibuk menghafalkan isi kitab ini. Termasuk aku. Sekejap riuh santri yang sedang menghafalkan berhenti. Ada sesosok laki-laki yang tinggi, putih, bersih, ganteng dan langkah yang panjang tapi bersuara karena memakai kain sarung, memasuki kelasku. Wajahnya teduh, membuat semua orang akan langsung tertarik padanya. Kecuali aku, karena terlanjur malu mengirim surat kecil ke santri putra yang ternyata Gus Azka. Satu persatu para santri maju ke depan menghafalkan. Saat giliranku maju, hatiku jadi tak karuan rasanya. Malu, takut, senang, bercampur menjadi satu. Akhirnya aku bisa melewatinya dan berhasil menyelesaikan hafalan.
“Huft, ternyata enak juga ya, diajar Gus Azka” celutukku pada Vina yang masih duduk di sampingku.

“Enak..enak..emang makanan?” sanggah Vina.
Setelah kelas berakhir, aku menghampiri Gus Azka dan meminta maaf atas kelancanganku saat ngaos pak Kiai di Masjid.
“Gus saya mau minta maaf,”pintaku.
“Untuk apa?”tanyanya.
“Soal surat kecil itu…
“Oh, maa fii musykillah,”1 potongnya. Jawaban yang sama seperti di akhir percakapan kita melalui surat kecil yang dulu. Gus Azka orangnya memang cuek, tetapi perhatian pada orang yang baru dikenalnya.
Beberapa minggu kemudian, intensitas pertemuan kami di kelas diniyah semakin banyak. Aku merasa mulai tertarik pada kepribadian Gus Azka yang sekarang sering menggantikan pak Kiai ngaos. Akhir-akhir ini kesehatan Pak Kiai semakin menurun. Sehingga para putranya disuruh menggantikan beliau. Berbeda dengan abahnya, Gus Azka memaparkan penjelasan isi kitab dengan jelas bahkan diberi contoh sesuai keadaan yang terjadi sekarang. Hal ini yang membuatku semakin kagum padanya. Kecerdasan dan kalembutan hatinya membimbing para santri, membuatku sulit melupakannya. Entah kenapa aku semakin susah berkonsentrasi dengan pelajaranku di kelas. Rasanya ingin kubaikan perasaan ini. Tetapi kenapa tidak bisa. Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku sadar ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh menaruh hati kepadanya. Gus Azka adalah putra Kiai yang pintar dan menarik. Sudah pasti akan dijodohkan dengan putri Kiai juga. Sedangkan diriku hanya seorang santri, anak seorang petani yang hidup berkecukupan. Rasanya tidak pantas bersand ing dengan beliau.
Tidak terasa aku telah menyelesaikan SMA ku dan pendidikan di Pesantren. Beruntung aku mendapatkan beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Dengan semangat belajar yang tinggi, aku mencari ilmu dan berusaha mandiri. Aku percaya, jika kita bersungguh-sungguh, kita pasti akan mendapatkan apa yang kita inginkan.2 Aku mencoba melupakan dan mengabaikan perasaan kepada Gus Azka. Seiring berjalannya waktu, kenangan itu masih tersimpan di hatiku, tanpa ada yang mengetahuinya. Bahkan Gus Azkapun tidak tahu, kalau ternyata selama di Pesantren aku mengaguminya.
Aku yakin dan percaya atas kehendak-Nya. Seperti apa yang sudak dijanjikan oleh-Nya. Laki-laki yang baik akan mendapatkan perempuan yang baik pula, begitupun sebaliknya.
1 Jika memang berjodoh, kami pasti akan bertemu kembali. Baik sebagai teman atau menjadi pendamping disisa hidupku kelak. Atau mungkin takdir bicara lain, ternyata aku bertemu dengan orang lain yang menurut-Nya adalah pendamping hidupku yang terbaik. Entahlah, aku bukan seorang peramal yang bisa tahu masa depanku. Bukan juga penulis yang bisa seenaknya mengakhiri cerita hidup dengan happy ending. Aku hanya manusia yang lemah dan belumuran dosa. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, yang bebas terbang menggapai semua mimpi. Karena aku percaya Tuhan akan memeluk semua mimpi-mimpiku.2

substansi jilbab

Substansi Jilbab Bagi muslimah
wa al-yadlribna bi khumurihinna ’ala juyubihinna wa la yubdina zinatahunna illa li bu’ulatihinna…(Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali pada suami mereka…) QS Al-Nur:31
Sebagian besar masyarakat Indonesia beragama islam, dan populasi terbesarnya adalah perempuan. Beragam pemahaman yang mereka utarakan mengenai substansi jilbab. Menurut para akhwat yang memakai jilbab panjang dan lebar, jilbab merupakan suatu kewajiban bagi muslimah dalam berbusana. Mereka menganggap jilbab yang benar adalah yang panjang, lebar, tebal dan tidak transparan. Sehingga, ketika melihat muslimah lain yang berjilbab pendek atau bahkan tidak memakai jilbab, cenderung meragukan keislaman dan keimanan orang tersebut. Padahal keislaman dan keimanan seseorang tidak cukup hanya dilihat dari penampilan luarnya saja. Realita yang ada, tidak sedikit muslimah yang belum menggunakan jilbab. Tetapi mereka lebih memahami islam dari pada yang baru memakai jilbab yang sebagian besar mereka adalah seorang aktivis pergerakan. Apakah jilbab sebegitu simboliknya menandai suatu indikator keshalihan atau kesucian sehingga kain penutup kepala itu menjadi berjarak dan asing dengan sendirinya dari perempuan Islam yang mengenakannya?
Ada yang berjilbab tapi masih telanjang. Hal ini sering di paraktekkan oleh para artis-artis. Padahal, yang demikian itu adalah sebuah prilaku yang sama sekali tidak disenangi oleh Islam. Ada yang lebih fatal lagi, yaitu seseorang yang telah berani mempermainkan jilbab hanya untuk kepentingan duniawi, sementara masyarakat menyaksikan bahwa mereka sebenarnya tidak berjilbab. Jilbab memang tidak sekadar pakaian yang dikenakan muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Fenomena jilbab berkembang jauh ke luar wilayah yang sebenarnya. Dalam kategori sosiologis, jilbab bisa mencerminkan pandangan maupun perilaku keagamaan seseorang. Jilbab ”klasik” biasanya pemakainya lebih ”ketat” dalam beragama dan punya afiliasi politik tertentu. Jilbab bercadar mencerminkan ”fundamentalisme” pemakaiannya. Jilbab modis mencerminkan pandangan Islam ngepop dan condong ”liberal”.
Selama ini jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman. Alasannya, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama, juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam menghadapi penindasan patriarkhi, kapitalisme, dan globalisasi. Tetapi, saya melihat hal itu telah disalah pahami banyak pihak, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam. Di kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas ketakwaan perempuan berjilbab daripada yang tidak berjilbab. Sedangkan di kalangan luar, kelompok berjilbab sering dianggap sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal, dan anti-Barat. Setidaknya, dua kemungkinan itu yang saya tangkap.
Persoalannya adalah, dengan membuat indikator imajiner tentang ’standar kepantasan’ perempuan untuk berjilbab, maka secara tidak langsung kita telah mensakralkan jilbab. Maksudnya adalah upaya untuk membuat jilbab seolah simbol yang menandai keshalihan perempuan sebagai sesuatu yang tidak bisa digugat. Jilbab sebagai sesuatu yang lekat dengan Islam, yang dimaknai sebagai bagian dari identitas pemakainya. Ibaratnya, jilbab dibuat seolah sebuah atribut atau jabatan yang bisa dibongkar pasang sesuai dengan indikator. Padahal, sejatinya jilbab itu menyatu dengan si pemakainya bukan semata dalam artian keputusan untuk memakainya harus dari si perempuan itu sendiri, tapi juga dalam artian kebebasan si perempuan untuk memutuskan berjilbab atau tidak. Dengan menyatukan si jilbab kepada identitas si perempuan, kita telah memaknai jilbab atau hijab ke dalam substansi sebagai “pembatas”. “Pembatas” ini adalah sesuatu yang inheren dalam spiritualitas si perempuan, dan bukan sebagai “simbol kesucian” atau atribut yang dibebankan kepada perempuan sehingga dia seolah-olah memikul suatu tanggung jawab suci untuk mempertahankan dirinya ke dalam konformitas tertentu yang belum tentu sesuai dengan karakternya.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah”, busana muslimah (Jilbab) mulai dikenal oleh pemeluk agama terutama Islam pada abab XIX, tetapi jilbab kala itu masih belum menjadi trend sehubungan umat masih terperangkap dengan kebodohan, sekaligus menilai jilbab merupakan pakaian yang lucu dan membosankan. Maka, tak salah jika kemudian jilbab dianggap sebagai salah satu busana yang membatasi gerak langkah pergaulan sehari-hari.
Hal senada juga disampaikan seorang “akhwat” (aktivis pergerakan). Mereka merubah penampilan setelah beberapa kali mengikuti kajian di kampus. Bisa jadi karena pemahaman yang belum sempurna lantas begitu saja menerima segala hal yang mereka kira paling benar. Ada beberapa golongan yang lebih ekstrim dalam pemahaman islam, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), KAMMI, Salafi dll. Mereka memandang muslimah yang tidak berjilbab atau tidak menyalahi aturan islam seperti ghibah (membicarakan orang lain) maka dia dianggap kafir dan halal dibunuh. Sebegitu kerasnya dalam mengaplikasikan ajaran islam. Ini sangat jauh dari arti islam itu sendiri, sebagai Rahmatallil’alamin rahmat bagi semua orang. Islam bukanlah ideologi, tetapi sebuah substansi. Menjadi muslimah sebenarnya mudah, tapi kenapa mereka cenderung mempersulit dengan segudang aturan, misalnya harus memakai rok, baju yang longgar, atau gamis bahkan ada yang memakai cadar. Hal ini pun mengundang reaksi pada muslimah yang memakai jilbab ala kadarnya dan yang belum berjilbab. Menurut mereka substansi jilbab adalah menutup aurat dalam artian perilaku atau akhlak yang kurang patut sebagai muslimah yang mengetahui batasan islam. Mereka tidak ingin mengotori jilbab yang menurut mereka dekat dengan keshalihan muslimah. Mereka menyayangkan tindakan akhwat pergerakan yang seringkali memandang rendah tingkat keimanan mereka. Ini merupakan salah satu bentuk kesenjangan sosial dalam lingkup kepribadian muslimah. Karena mereka yang telah berjilbab besar cenderung menilai sesuatu dari penampilan. Tapi mereka tidak paham, dan terlalu sempit menilai kadar keimanan seseorang. Seharusnya mereka tidak berhak atas semua ini, karena hanya Tuhan yang bisa menilainya.
Saya masih belum mampu menangkap substansi jilbab yang sebenarnya. Sebagian kalangan menyatakan jilbab bukan sekadar menutupi bagian-bagian tubuh wanita yang selayaknya ditutupi, tapi menyelimuti pula si pemakainya dari perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan spirit ketuhanan. Mungkin ini merupakan motivasi muslimah untuk berjilbab. Tetapi ada beberapa yang beranggapan, memakai jilbab hanya sekadar mengikuti tren mode. Jadi tidak salah jika akhirnya jilbab sendiri beragam jenisnya, yaitu jilbab modis, jilbab syar’i atau klasik dan jilbab gaul. Seringkali kita dengar bahwa perempuan mengenakan jilbab sebagai identitas keislaman. Identitas digunakan sebagai pembelaan betapa mendasarnya jilbab itu, tapi yang sering luput adalah identitas itu bukan sesuatu yang dipaksakan secara eksternal. Yang namanya identitas berarti bagian yang sangat personal dari seseorang untuk mengartikulasi keberadaan dirinya di tengah lingkungan sosial. Karenanya, tidak terhindarkan bagi tiap orang untuk memiliki multiple identities.
Selain itu, jilbab sudah seharusnya dibebaskan dari segala tanggung jawab simbolik sehingga perempuan akan tetap nyaman mengenakannya ataupun tidak mengenakannya. Lantas perempuan berjilbab bisa mengatakan, “Ya saya berjilbab karena saya ingin, dan saya adalah diri saya. Saya tidak membawa pesan kesucian tertentu atau keshalehan yang diukur oleh suatu konformitas.” Perempuan berjilbab juga bisa mengatakan, “Saya akan tetap berjilbab meski oranglain mengatakan saya tidak sholehah. Kenapa? karena jilbab bukan atribut yang dipinjamkan oleh pihak lain sehingga pihak lain berhak menilai soal baik atau tidaknya saya memakai jilbab.” Perempuan tidak berjilbab pun bisa mengatakan, “Saya memilih tidak berjilbab karena saya merasa tubuh saya adalah milik saya dan bukan pinjaman dari pihak lain.”
Menurut saya, seorang perempuan yang sudah berjilbab tidak perlu melepas jilbabnya hanya karena, dan hanya karena, dia merasa tidak “cukup” memenuhi “indikator” keshalehan yang dijejalkan padanya oleh persepsi kelompok atau masyarakat tertentu. Kecuali atas pertimbangan-pertimbangan lain yang sepenuhnya personal, perempuan berjilbab semestinya tidak merasa dihakimi oleh pihak lain sehingga mendorongnya untuk melepaskan jilbab. Sedangkan yang belum memakai jilbab tidak perlu memaksakan diri memakainya karena paksaan atau tuntutan yang harus mereka taati.
Haruslah dipahami dan dimaklumi, menutup aurat, bagi sebagian kelompok masyarakat memang merupakan prinsip ideologi dan way of life. Keyakinan ini haruslah dihormati. Walau harus diakui, jilbab adalah sebuah paradok yang abadi. Dengan demikian, desakralisasi jilbab diperlukan untuk menghindarkan tindak kekerasan atau diskriminasi patriarkis yang mengatasnamakan ‘kesucian’.