TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA
﴿
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ayat
ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya. Bahkan
orang yang meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti ayat ini tidak boleh
diambil secara zhahirnya tetapi harus dipahami dengan makna yang tepat dan
dapat diterima oleh akal. Bisa
dikatakan bahwa makna lafazh istiwa'
di sini adalah al Qahr,
menundukkan dan menguasai. Dalam bahasa Arab dikatakan :
اسْتَوَى
فُلاَنٌ عَلَى الْمَمَالِكِ
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali
segala urusan dan menundukkan orang, seperti dalam sebuah bait syair :
قَدْ
اسْـتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ
مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مِهْرَاقِ
"Bisyr
telah menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah".
Sedangkan
faedah disebutkannya 'arsy secara khusus adalah bahwa 'arsy merupakan makhluk
Allah yang paling besar bentuk dan ukurannya. Ini berarti tentunya
makhluk-makhluk yang lebih kecil dari 'arsy termasuk di dalamnya. Imam Ali
mengatakan :
"إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ
وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ"
“Sesungguhnya
Allah menciptakan ’arsy (makhluk Allah yang paling besar)
untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. Diriwayatkan oleh Abu Manshur at-Tamimi,
seorang imam serta pakar hadits, fiqh dan bahasa dalam kitabnya at-Tabshirah.
Ayat ini
juga boleh ditafsirkan bahwa
"Allah memiliki sifat istiwa' yang diketahui oleh-Nya, disertai
keyakinan bahwa Allah maha suci dari istiwa'-nya makhluk yang bermakna duduk, bersemayam dan semacamnya".
Ketahuilah bahwa harus diwaspadai orang-orang
yang menyandangkan sifat duduk dan bersemayam di atas 'arsy. Mereka menafsirkan
firman Allah :
﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى [
Dengan duduk atau berada di atas 'arsy dengan jarak.
Mereka juga mengklaim bahwa tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat, ini adalah klaim yang bathil. Mereka
mengklaim juga bahwa perkataan ulama salaf : Istawa bila kayf sesuai dengan apa yang mereka katakan. Mereka
tidak mengerti bahwa kayf yang
dinafikan oleh ulama salaf adalah duduk, bersemayam, berada di suatu tempat,
berada di atas sesuatu dengan jarak dan semua sifat makhluk seperti bergerak,
diam dan semacamnya.
Al
Qusyairi berkata : "argumen yang bisa mematahkan syubhah mereka adalah
jika dikatakan : sebelum Allah menciptakan alam atau tempat, apakah Allah ada
atau tidak ?! akal yang sehat akan menjawab : ya, Allah ada. Jika demikian
halnya maka sekiranya perkataan mereka " tidak masuk akal adanya sesuatu
tanpa tempat" adalah benar, hanya
ada dua pilihan : pertama, mereka akan mengatakan bahwa tempat, 'arsy dan alam
adalah qadim (tidak memiliki
permulaan) atau pilihan kedua, Tuhan itu baharu. Inilah ujung dari keyakinan
golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu,
sungguh yang Qadim (Allah) tidaklah
baharu (muhdats) dan yang baharu tidaklah qadim".
Al
Qusyairi juga mengatakan dalam at-Tadzkirah
asy-Syarqiyyah : "Jika dikatakan : bukankah Allah berfirman [﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Maka harus diambil zhahir ayat ini. Kita menjawab : Allah
juga berfirman
﴿وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ[
(سورة
الحديد :4) ﴿ أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ [ (سورة فصّلت :54)
Jika kaedahnya seperti yang anda katakan
berarti harus diambil juga zhahir kedua ayat ini dan itu berarti Allah berada
di atas 'arsy, ada di antara kita, ada bersama kita serta meliputi dan
mengelilingi alam dengan Dzat-Nya dalam saat yang sama. Padahal –kata al
Qusyairi- dzat yang satu mustahil pada saat yang sama berada di semua tempat.
Kemudian –kata al Qusyairi- jika mereka
mengatakan : firman Allah ( وَهُوَ مَعَكُمْ ) yang dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan firman Allah ( بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ ) maksudnya ilmu Allah meliputi segala
sesuatu. Maka kita katakan : jika
demikian, maka ( عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) berarti qahara, hafizha dan abqa (menundukkan dan menguasai, memelihara dan
menetapkannya)". Maksud al Qusyairi adalah jika mereka di sini mentakwil
ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak memaknainya secara zhahirnya, lalu mengapa mereka mencela orang yang
mentakwil ayat istiwa' dengan qahr, Ini
adalah bukti bahwa mereka telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil.
Selanjutnya, Al Qusyairi mengatakan :
"Seandainya perkataan kami bahwa istawa
berarti qahara memberi persangkaan bahwa
telah terjadi pertarungan dan awalnya Allah dikalahkan lalu pada akhirnya
menundukkan dan mengalahkan lawan-Nya niscaya hal yang sama muncul dari
persangkaan terhadap ayat
(سورة الأنعام : 18) ( وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ
عِبَادِهِ)
Sehingga akan dikatakan : Allah
sebelum menciptakan hamba-Nya maqhur
(dikalahkan), bukankah hamba seluruhnya tidak ada sebelum Allah menciptakan
mereka. Justru sebaliknya (lebih parah) jika istiwa' tersebut adalah dengan dzat-Nya akan memberi persangkaan
bahwa Allah berubah dari keadaan sebelumnya, yaitu bengkok sebelum istiwa' karena Allah ada sebelum 'arsy
diciptakan. Orang yang obyektif akan mengetahui
bahwa orang yang mengatakan :
العرش بالربّ استوى
"'Arsy
sempurna adanya dengan pengadaan-Nya"
Lebih tepat dari perkataan : الربّ بالعرش استوى
Jadi Allah disifati dengan ketinggian derajat dan
keagungan, maha suci dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu
dengan jarak.
Al
Qusyairi berkata : "Telah muncul sekelompok orang bodoh, yang seandainya
mereka tidak mendekati orang awam dengan keyakinan rusak seiring daya nalar
mereka dan terbayangkan oleh benak mereka aku tidak akan mengotori
lembaran-lembaran buku ini dengan menyebut mereka. Mereka mengatakan : Kita
memahami ayat dengan mengambil zhahirnya, ayat-ayat yang memberi persangkaan
bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya atau memiliki bentuk dan ukuran serta
anggota badan kita pahami secara zhahirnya. Tidak boleh melakukan takwil
terhadap ayat-ayat tersebut. Menurut mereka, mereka berpegangan dengan firman
Allah : ﴿
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾
. Demi Allah, mereka ini lebih berbahaya terhadap Islam daripada orang-orang
Yahudi, Nashrani, Majusi dan penyembah berhala. Karena kesesatan orang-orang kafir ini jelas, diketahui
dan dijauhi oleh semua ummat Islam. Sedangkan orang-orang yang disebut pertama
tadi berpenampilan layaknya para ulama dan mengakses kepada orang awam dengan
cara yang bisa menarik orang awam agar mengikuti mereka sehingga mereka
menyebarkan bid'ah tasybih ini dan
menanamkan pada mereka bahwa tuhan yang kita sembah ini memiliki anggota badan,
mempunyai sifat naik, turun, bersandar, terlentang, istiwa' dengan
dzat-Nya dan datang-pergi dari suatu tempat dan arah ke yang lain. Maka –lanjut
al Qusyairi- barangsiapa tertipu oleh penampilan luar mereka akan mempercayai
mereka dan membayangkan sesuatu yang dicerna dengan indra dan menyandang
sifat-sifat makhluk diyakininya sebagai Allah. Dengan
keyakinan semacam ini ia telah jauh tersesat tanpa dia sadari".
Dari
penjelasan di atas diketahui bahwa perkataan orang bahwa takwil tidak boleh adalah kebodohan dan ketidaktahuan terhadap
yang benar. Perkataan ini terbantah dengan doa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam untuk Ibnu
Abbas :
" اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ
وَتَأْوِيْلَ الْكِتَابِ" رواه البخاريّ وابن ماجه وغيرهما بألفاظ
متعدّدة
“Ya
Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ajarilah ia penafsiran al-Qur'an”
(H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan lainnya dengan redaksi yang
berbeda-beda)
Al Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitabnya Al Majalis
berkata : "Tidak diragukan lagi
bahwa Allah mengabulkan doa Rasulullah ini". Kemudian beliau mengingkari
dengan sangat dan mencela dengan pedas orang yang menolak takwil dan
menguraikan dengan panjang lebar hal ini. Bagi yang tertarik silahkan
membacanya.
Sedangkan
firman Allah (سورة
النحل : 50) ﴿
يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ﴾ maknanya di atas mereka
dengan kekuasaan-Nya, bukan dengan tempat dan arah, yakni bukan di atas mereka
dari segi tempat dan arah. Firman Allah ((سورة الفجر : 22 ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ
صَفًّا صَفًّا ﴾ datang
yang dinisbatkan kepada Allah ini maknanya bukan datang dengan bergerak,
berpindah, mengosongkan suatu tempat dan mengisi tempat yang lain dan kafir
hukumnya orang yang meyakini semacam ini bagi Allah. Karena Allah ta'ala yang
menciptakan sifat bergerak, diam dan semua sifat makhluk, maka Allah tidak
disifati dengan bergerak dan diam. Jadi yang dimaksud dengan ﴿
وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ adalah
datang sesuatu dari Tuhanmu, yakni salah satu tanda kekuasaan-Nya. Inilah
takwil yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Diriwayatkan dengan sanad yang sahih
bahwa beliau berkata tentang ayat tersebut
﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ : yang datang adalah (tanda)
kekuasaan-Nya. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad seperti yang sudah pernah
disinggung. (materi dauroh di PP. Pandanaran Yogyakarta)